Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraEsaiTelaah

Cerita Rakyat Riau, Tinjauan Ringkas

×

Cerita Rakyat Riau, Tinjauan Ringkas

Sebarkan artikel ini

Cerita rakyat adalah bagian dari sastra tradisional yang pada mulanya wujud secara lisan. Sebagai sebuah bentuk sastra lisan, cerita rakyat bersemayam dalam ingatan masyarakat pendukungnya. Di masa lampau, cerita rakyat biasanya disampakan oleh orang tua kepada anak-anaknya sebagai pengantar tidur, atau oleh tukang cerita kepada khalayaknya.

Di dalam masyarakat Melayu di Riau, cerita rakyat memiliki fungsi sosio-kultural yang sangat penting. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya yaitu: 1) identitas suatu kelompok; 2) perekam sejarah atau asal-usul suatu kelompok; 3) media penyampai pesan-pesan moral (fungsi pendidikan); 4) sebagai hiburan atau pelipur lara; 5) proyeksi keinginan yang terpendam; dan, 6) protes sosial. Dapat dikatakan bahwa cerita rakyat merupakan bagian penting dalam kelangsungan kebudayaan masyarakat Melayu. Selain sebagai perekam ingatan komunal, cerita rakyat juga menjalankan peran komunikasi antar generasi, sekaligus sebagai sarana pewarisan nilai-nilai kearifan tradisional. Oleh karena itu, inventarisasi cerita rakyat merupakan bagian penting dalam upaya pelestarian kebudayaan.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Di dalam perkembangannya cerita rakyat yang bersifat lisan sudah pula diwujudkan dalam bentuk tertulis. Beberapa contoh sastra lisan yang dituangkan sebagai sastra tertulis adalah lakon-lakon yang ditulis dan dipentaskan oleh seniman Tenas Effendi dan Temul Amsal pada pertengahan tahun 1970-an dan 1980-an, yang merupakan reproduksi mitos dan legenda rakyat Melayu di Riau, hingga GP Ade Dharmawi yang menulis Syair Rokan Hilir (2005).

Selain itu, telah banyak pula cerita rakyat yang dibukukan oleh para penulis Riau seperti Cerita Rakyat Daerah Riau (IDKD, 1980/1991); Cerita Rakyat Daerah Riau (IDKD, 1986/1987); Cerita Rakyat Daerah Riau, jilid I, II dan III (BPKD, 1975); Sastra Lisan Melayu Riau (Melayulogi, 1986/1987). Beberapa kabupaten juga sudah mengumpulkan dan menerbitkan cerita rakyat, seperti (sekedar menyebutkan sebuah contoh) Kumpulan Cerita Rakyat Kota Dumai (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Dumai; 2004). Baru-baru ini Yayasan Bandar Seni Raja Ali Haji juga menerbitkan kumpulan cerita Sang Ular (Legenda Asal Nama Desa Sanglar) (2006) disunting oleh Alang Rizal, yang merupakan hasil sayembara menulis cerita rakyat. Persoalan dari berbagai upaya itu antara lain kurangnya publikasi dan distribusi yang menjangkau masyarakat luas. Dokumentasi yang sudah dilakukan dan dibukukan itu kebanyakan tersimpan tak terurus di gudang-gudang perkantoran.

Baca Juga:  Peti Sepatu

Berbagai pihak perorangan seperti yang dilakukan oleh B.M. Syamsuddin karyanya Cerita Rakyat dari Riau (Grasindo, Kelompok Kompas Gramedia; 1995) terdiri dari beberapa jilid. Bahkan, karya-karya BM. Syamsuddin telah beberapa kali dicetak ulang. Selain itu, beberapa pengarang Riau modern juga menghasilkan karya-karya kreatif berdasarkan cerita rakyat seperti Hasan Junus, Taufik Ikram Jamil, Ediruslan Pe Amanriza, Sudarno Mahyuddin, sampai ke Syaukani Al Karim.

Para penulis Riau yang sudah membukukan dan mengumpulkan cerita rakyat juga cukup banyak, antara lain Tenas Effendy, Dasri Al Mubary, Elmustian Rahman, Abdul Jalil, Sudirman Shomary, Herman Mazkar, Alang Rizal, Fakhri, Ramon Damora, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar dan seterusnya. Juga sudah disusun Direktori Sastra Lisan (Elmustian, dkk. 2004). Meski begitu, masih banyak juga yang belum dibukukan. Elmustian dkk. sudah mengumpulkan lebih dari 200-an buah cerita asal-usul yang belum lagi diterbitkan, dan masih banyak lagi yang lainnya yang masih tersimpan pada ingatan para pendukung cerita rakyat di pelosok Riau.

Dewasa ini, keberadaan cerita rakyat dalam bentuk aslinya (yaitu lisan) mulai terancam oleh perkembangan. Modernisasi mempengaruhi orientasi kehidupan masyarakat yang semula berbasis komunalitas menuju kepada individualitas. Hal ini diperburuk pula oleh khalayak penyimak yang makin sedikit. Sarang atau kantong tradisi (cerita rakyat) juga terjejas oleh akselerasi pembangunan ekonomi yang kapitalistik. Hal ini menyebabkan cerita rakyat kehilangan khalayaknya. Pengaruh modernitas juga telah mendorong orang lebih memilih hal-hal yang praktis seperti menonton televisi, dibandingkan harus bercerita atau mendongeng. Cerita rakyat yang dituturkan oleh pencerita spesialis maupun orang awam mulai tergantikan sandiwara radio atau sinetron. Karna semakin jarang di sampaikan, cerita rakyat pun cenderung dilupakan. Inilah tantangan yang dihadapi dalam upaya pelestarian sastra lisan, khususnya cerita rakyat. Meskipun sulit untuk mengembalikannya pada keadaannya semula, bukan berarti tidak ada upaya yang bisa dilakukan untuk pelestariannya. Apa yang dilakukan oleh para penulis sebagaimana disebutkan di atas, adalah sebagian dari upaya pelestarian cerita rakyat. Transpormasinya ke dalam alat-alat kelisanan baru, seperti radio, televisi, dan lain-lain juga cukup signifikan mempertahankan keberadaan cerita rakyat tersebut. Dalam rangka itu pulalah maka dilakukan inventarisasi cerita rakyat di Provinsi Riau.

Baca Juga:  Asal Mula Pulau Sangkar Ayam-Inderagiri Hilir

Takrif dan Konsep
Cerita rakyat, seperti yang disiratkan dengan sebutannya, merupakan tradisi lisan yang hidup dan berkembang di kalangan rakyat. Cerita rakyat hadir dalam bentuk prosa maupun puisi. Cerita rakyat berbentuk prosa terbagi dalam tiga bagian besar yaitu: mite, legenda, dan dongeng (Willian R. Bascom dalam Danandjaya 1991). Mite adalah cerita rakyat yang dianggap benar-benar terjadi dan suci oleh yang empunya cerita. Tokoh-tokoh cerita di dalam mite adalah dewa-dewa dan manusia setengah dewa yang berlatar kehidupan di masa lampau.

Mite umumnya mengisahkan proses suatu kejian alam, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk khas topografi, gejala alam, dsb. Serupa dengan mite, legenda juga dianggap sebagai cerita yang benar-benar terjadi namun tidak dianggap suci. Latar kejadiannya tidak begitu lampau dan terjadi di dunia seperti yang kita diami. Legenda seringkali juga disebut sebagai ‘sejarah’ kolektif (Danandjaya, 1991). Ceritanya berkisar pada suatu tokoh atau peristiwa tertentu yang dianggap penting oleh komunitasnya. Cerita rakyat yang tergolong sebagai legenda adalah epik, sage, cerita sejarah dan cerita asal-usul nama tempat. Cerita dalam kategori legenda ini memiliki potensi perkembangan yang luas. Cerita-cerita baru dapat muncul dalam suatu komunitas ketika ada peristiwa atau tokoh-tokoh yang mereka anggap penting dalam kehidupan mereka.

Sedangkan dongeng merupakan cerita rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi dan tidak terikat oleh waktu dan tempat. Dongeng dimaksudkan terutama untuk hiburan. Cerita dongeng tidak hanya berkisar pada dunia manusia tetapi juga dunia binatang dan tumbuhan yang ‘dimanusiakan’. Berdasarkan objeknya dongeng dapat dipilah lagi menjadi cerita lipur lara, cerita teladan, cerita binatang, dan cerita jenaka. Cerita lipur lara biasanya berkisah mengenai kehidupan sehari-hari dan mengandung unsur kepedihan dan kesengsaraan. Cerita teladan merupakan cerita yang kental dengan pesan moral. Cerita binatang adalah cerita yang tokoh-tokoh utamanya adalah binatang. Sedangkan cerita jenaka yakni cerita yang sifatnya menggelitik, sehingga memancing orang untuk tertawa.  

Baca Juga:  Putri Hijau-Rokan Hilir

Cerita rakyat dalam bentuk puisi dan puisi liris pada umumnya disajikan dengan dinyanyikan. Di Riau, contoh cerita rakyat ini adalah Nyanyi Panjang, Koba, Syair, dan kayat. Isi ceritanya beragam, mencakup kategori mite yaitu asal-usul suatu kelompok yang mendiami suatu tempat (Nyanyi Panjang dan Koba), legenda, dan dongeng. 

Beberapa ciri khusus cerita rakyat yaitu: 1) berisi cerita yang mengisahkan suatu kelompok, seorang tokoh, suatu tempat, atau suatu peristiwa; 2) memakai bahasa logat setempat; 3) tanpa pengarang; 4) disebarkan dan diwariskan secara lisan; 5) memiliki bentuk berumus atau berpola, misalnya pada kalimat pembuka biasanya memakai “konon…” atau “pada zaman dahulu kala…”, dst.; 6) berlatar kebudayaan masyarakat tempat cerita tersebut berkembang; 7) penyampaiannya biasanya bersifat bebas dan interaktif, sehingga cerita rakyat selalu mengalami kebaruan (ekstemporisasi) setiap kali disampaikan; 7) sebagian dibawakan oleh tukang cerita pada kesempatan-kesempatan khusus, dan sebagian lagi dapat dibawakan kapan saja oleh siapapun yang menguasainya.

Rujukan:
Derichard H. Putra, dkk. 2007. Cerita Rakyat Daerah Riau. Pekanbaru: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Riau.
Elmustian Rahman, dkk. 2004. Direktori Sastra Lisan. Pekanbaru:  Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
James Danandjaja. 1991. Foklor Indonesia Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *