Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraLingkup Materi

Asal Mula Pulau Kapal-Meranti

×

Asal Mula Pulau Kapal-Meranti

Sebarkan artikel ini

Di sebuah perkampungan kecil di tengah hutan, hiduplah satu keluarga yang amat miskin. Saban hari pekerjaan mereka hanyalah mencari buah-buahan, kayu bakar atau apa saja yang mereka temukan di hutan. Hasil dari berkerja mereka dijual di pasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sekeluarga.

Keluarga miskin ini memiliki seorang anak lagi-laki yang bernama si Lamat. Ia adalah anak yang rajin dan patuh kepada orang tuanya. Ia rajin bekerja, soleh, ramah, dan menyayangi yang kecil, menghormati yang besar. Walau serba kekurangan namun mereka tidak pernah menderita.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten
Ketika si Lamat hendak memotong rebung di sela-sela rumpun bambu, tiba-tiba ia melihat sebatang tongkat. Si Lamat lalu memungut dan mengamati tongkat itu.

Suatu hari si Lamat mencari rebung ke hutan. Pucuk bambu yang baru tumbuh dan masih amat muda itu akan disayur oleh emaknya. Ketika si Lamat hendak memotong rebung di sela-sela rumpun bambu, tiba-tiba ia melihat sebatang tongkat. Si Lamat lalu memungut dan mengamati tongkat itu. Aneh! Di dalam rumpun bambu kenapa ada tongkat ya, kira-kira milik siapa gerangan, pikir Lamat. 

Tongkat itu hendak dibuang si Lamat begitu saja. Namun, setelah dicermati, Lamat terkejut bukan kepalang. Dadanya berdetub kencang. Ia hampir saja menjerit. Dilihatnya lagi dengan seksama. Ia melihat sekeliling rumpun bambu itu. Tak ada orang. Wajahnya menjadi pucat pasi. Tongkat itu berwarna kuning berkeliau. Ternyata benda tersebut terbuat dari emas. Ketika mata tertuju pada hulu atau pangkal tongkat, Lamat semakin terperangah. Ternyata hulu tongkat itu bertatahkan kemilau benda sebesar biji jagung. Setelah dibersihkan ternyata benda hiasan itu terbuat dari intan dan mutiara yang disalut emas. Wah, eloknya tongkat ini, pikir Lamat dalam hati.

Baca Juga:  Legenda Gua Pelintung-Kota Dumai

Si Lamat menjadi gusar, apa seharusnya yang ia perbuat terhadap tongkat itu. Membuangnya kah? Tidak mungkin, pikir Lamat. Apakah dibawa pulang saja? Ia khawatir di tengah jalan bertemu penjahat dan tongkat itu bakal dirampas dan ia pun dibunuh. Wah berbahaya, pikir Lamat. 

Lama ia berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk membawa tongkat itu pulang dengan sangat hati-hati. 

Sesampai di rumah, ia menemui kedua orang tuanya dan menceritakan barang temuannya tersebut dengan berbisik-bisik. Mendengar cerita si Lamat, emaknya menjadi takut. Maklum selama hidup ia tidak pernah memiliki emas, intan, dan mutiara sebesar itu. Sebesar biji beras pun tidak pernah. Dan, sekarang malah mendapatkan sebesar tongkat. Hendak di simpan di mana? Sedangkan mereka tidak punya tempat penyimpanan. Tidak punya almari atau peti. Ditaruh di bawah katil? Tidak mungkin aman, karena rumahnya mudah sekali dimasuki pencuri.

Ketika mereka kebingungan, tiba-tiba si Lamat punya pikiran.

“Sebaiknya dijual saja Mak!” Ujar si Lamat.

“Ya, dijual saja,” jawab ibunya setuju.

“Dijual ke mana?” Ayah Lamat menimpali dengan penuh ragu. “Ketika di jual pun akan mencelakakan kita,” lanjut ayahnya.

“Mengapa begitu, Ayah?” Tanya si Lamat

 “Mana mungkin orang percaya kita punya barang berharga sebesar ini. Justru kita dituduh mencuri. Lagi pula tak ada orang kaya sekalipun di negeri ini yang mampu membelinya,” ujar sang Ayah.

Baca Juga:  Asal Mula Pulau Sangkar Ayam-Inderagiri Hilir

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *