Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraLingkup Materi

Asal Mula Negeri Tanah Sepuruk-Siak Sri Inderapura

×

Asal Mula Negeri Tanah Sepuruk-Siak Sri Inderapura

Sebarkan artikel ini

Kehidupan yang dibalut kemewahan layaknya seorang bangsawan tidaklah mengubah watak dan sikap emak Wuk. Ia tetaplah seorang perempuan tua yang baik hati pada semua orang. Pekerjaannya di ladang tidak ia ditinggalkannya. Bukan karena ia ingin menyusah-nyusahkan diri yang umurnya sudah lebih setengah abad itu. Namun karena pekerjaan itu sangat dicintainya dan telah mendarah daging pula dalam dirinya. Menantunya yang bangsawan itupun tak kuasa mengahalangi.

“Kalau itu memang membuat emak bahagia, tentunya akan lebih baik,” katanya suatu waktu kepada Wuk. Wuk lebih menginginkan emaknya meninggalkan ladang mereka. Duduk bersenang-senang di rumahnya, menikmati hidangan-hidangan lezat dan buah-buah segar lengkap dengan pakaian-pakaian mewah sebagaimana orang-orang di bangsawan. Wuk tidak senang dengan sikap ibunya yang tetap ingin bekerja di ladang. Baginya itu adalah hal yang memalukan baginya dan suaminya. Wuk takut akan perkataan orang-orang dusun nantinya. Namun lain halnya bagi suami Wuk. Meski ia seorang bangsawan, hal itu bukanlah memalukan baginya. Bahkan ia juga membantu emak Wuk bekerja sambil menikmati hijaunya suasana ladang yang damai. Begitulah dua sifat yang berbeda dalam keluarga itu.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Sejak itu, Wuk tak pernah berada lagi di belakang emaknya melewati lorong tinggi setapak yang kiri kanannya ditumbuhi padi yang hijau. Ia tidak lagi seperti yang dulu ketika kehidupannya sama seperti orang-orang dusun lainnya. Emaknya tidaklah terlalu berkecil hati dengan perilakunya itu. Janda tua itu tetap bahagia asal anak satu-satunya itu bahagia. Karena orang tua manapun pasti menginginkan yang terbaik buat anaknya.

Baca Juga:  Peti Sepatu

Setelah beberapa bulan tinggal di dusun Wuk, suami Wuk ingin kembali berlayar. Ia sengaja tidak mengajak Wuk ikut serta karena tidak ada yang menjaga emak Wuk nantinya.

“Wahai adikku, jaga emak baik-baik, kakanda pergi hanya sekejap. Adik sabar menunggu dan jangan membantah kata-kata emak.” Begitu pesannya kepada Wuk, istrinya yang tercinta sebelum ia berangkat meninggalkan dusun itu. Wuk pun mengangguk yakin, mengiyakan pesan suaminya yang disayanginya itu.

Kapal besar itu pun kembali berlayar setelah beberapa lama bersandar di pantai tidak seberapa jauh dari ladang Wuk. Lambaian tangan Wuk hampir tak terlihat lagi karena kapal sudah berangsur menjauh dan kemudian hilang di kejauhan.

Sepeninggal menantunya yang baik hati itu, emak Wuk merasakan sedikit kesusahan mengolah ladang sendiri, karena tidak ada lagi yang membantu menaikkan bakul-bakul besar berisi padi ke atas pondok. Padi-padi yang sudah menguning itu harus segera di panen sebelum hama padi seperti burung pipit dan gerombolan babi datang dan merusak tanaman padi. Terpikir oleh emak Wuk untuk mengupah orang-orang dusun bekerja di ladangnya, namun sayang, semua orang dusun disibukkan dengan ladangnya masing-masing. Untuk saat itu belum ada yang bersedia menerima tawaran mak Wuk meski mereka tahu upahnya sangatlah besar. Orang dusun yang menganggap ladang sebagai suatu berkah tentunya tidak mau menelantarkan padi-padi mereka begitu saja. Begitulah mereka menjaga etika dengan alam.

Baca Juga:  Putri Kaca Mayang (Asal Mula Kota Pekanbaru) - Pekanbaru

Respon (4)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *