Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & Sastra

Puteri Tujuh-Dumai Versi II

×

Puteri Tujuh-Dumai Versi II

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi. (foto: budayamelayuriau.org)

Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah tempat di pesisir timur Sumatera berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung. Kerajaan ini diperintah oleh seorang ratu yang bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, yang dikenal dengan sebutan Putri Tujuh.

Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsulah yang paling cantik, namanya Mayang Sari. Putri Mayang Sari memiliki keindahan tubuh yang sangat mempesona, kulitnya lembut bagai sutra, wajahnya elok berseri bagaikan bulan purnama, bibirnya merah bagai delima, alisnya bagai semut beriring, rambutnya yang panjang dan ikal terurai bagai mayang. Karena itu, sang Putri juga dikenal dengan sebutan Mayang Mengurai.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di Lubuk Sarang Umai. Karena asyik berendam dan bersendau gurau, ketujuh putri itu tidak menyadari ada beberapa pasang mata yang sedang mengamati mereka, yang ternyata adalah Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya yang kebetulan lewat di daerah itu.

Mereka mengamati ketujuh putri tersebut dari balik semak-semak. Diam-diam, sang pangeran terpesona melihat kecantikan salah satu putri yang tak lain adaiah Putri Mayang Sari. Tanpa disadari, Pangeran Empang Kuala bergumam lirih.

“Gadis cantik di lubuk Umai… cantik di Umai. Ya, ya… Dumai… Dumai…” kata-kata itu terus terucap dalam hati Pangeran Empang Kuala. Rupanya, sang pangeran jatuh cinta kepada sang Putri. Karena itu, sang Pangeran berniat untuk meminangnya.

Baca Juga:  Legenda Selembang Karang - Rokan Hulu

Beberapa saat kemudian, sang pangeran  mengirim utusan untuk meminang putri yang bernama Mayang Mengurai. Utusan tersebut mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja kepada keluarga kerajaan Seri Bunga Tanjung. Pinangan itu pun disambut oleh Ratu Cik Sima dengan kemuliaan adat yang berlaku di Kerajaan Seri Bunga Tanjung.

Sebagai balasan pinangan Pangeran Empang Kuala, Ratu Cik Sima pun menjunjung tinggi adat kerajaan yaitu mengisi pinang dan gambir pada combol paling besar di antara tujuh buah combol yang ada di dalam tepak itu. Enam buah combol lainnya sengaja tak diisinya, sehingga tetap kosong. Adat ini melambangkan bahwa putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.

Mengetahui pinangan pangerannya ditolak, utusan tersebut kembali menghadap kepada sang pangeran.

“Ampun Baginda Raja! Hamba tak ada maksud mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung belum bersedia menerima pinangan Tuan untuk memperistrikan Putri Mayang Mengurai.”

Mendengar laporan itu, sang Raja pun naik pitam karena rasa malu yang amat sangat. Sang pangeran tak lagi peduli dengan adat yang berlaku di negeri Seri Bunga Tanjung. Amarah yang menguasai hatinya tak bisa dikendalikan lagi.

Sang Pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Maka, pertempuran antara kedua kerajaan di pinggiran Selat Malaka itu tak dapat dielakkan lagi.

Baca Juga:  Putri Tujuh-Dumai Versi 1

Di tengah berkecamuknya perang tersebut, Ratu Cik Sima segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan menyembunyikan mereka di dalam sebuah lubang yang beratapkan tanah dan terlindung oleh pepohonan.

Tak lupa pula sang Ratu membekali ketujuh putrinya makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang Ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala.

Tiga bulan berlalu, namun pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai, Setelah memasuki bulan keempat, pasukan Ratu Cik Sima semakin terdesak dan tak berdaya. Akhirnya, negeri Seri Bunga Tanjung dihancurkan. Rakyatnya banyak yang menjadi korban. Melihat negerinya hancur dan tak berdaya, Ratu Cik Sima segera meminta bantuan jin yang sedang bertapa di bukit hulu Sungai Umai.

Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Sungai Umai. Mereka berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam terjadi peristiwa yang sangat mengerikan.

Lanjut ke halaman berikutnya…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *