Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraLingkup Materi

Asal Mula Negeri Naga Beralih-Kampar

×

Asal Mula Negeri Naga Beralih-Kampar

Sebarkan artikel ini

Pada zaman dahulu, di tepi kampung yang kini dinamakan Naga Beralih, tinggallah sebuah keluarga sepasang suami-istri dengan dua orang anaknya. Yang tua sudah meningkat remaja bernama Adan, yang kecil bernama Adin masih usia kanak-kanak.

Hampir tiap hari suami istri tersebut bekerja keras, memeras keringat dan membanting tulang mencari rotan ke hutan yang penuh dengan binatang buas dan berbisa. Namun, penghasilan yang didapat tidaklah mencukupi kebutuhan sehari-hari. Di samping itu, sepulang dari mencari rotan sang suami biasanya mencari ikan di sungai dan tenaga upahan menakik di kebun orang, yang dibantu pula oleh sang istri.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Suatu hari ayah Adan jatuh sakit yang kian hari bertambah parah jua. Berbagai usaha dan ikhtiar telah dilakukan. Berbagai obat telah dicoba. Dua tiga orang dukun telah pula dijemput, namun sakit si ayah kian parah juga.

Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Suatu subuh berpulanglah sang ayah ke hadapan Yang Maha Kuasa. Kematian sang ayah yang merupakan tiang sangga dalam suatu rumah tangga, menjadikan keluarga ini semakin dililit kesusahan dan belenggu kemiskinan.

Semenjak mereka menjadi anak yatim, maka yang memelihara mereka sepenuhnya adalah emak. Apalah pekerjaan yang dapat diperbuat oleh seorang janda yang miskin tanpa harta warisan seperti itu.

Baca Juga:  Puteri Mambang Linau dan Bujang Enok

Sang emak tidak pilah-pilih pekerjaan, apakah mengambil upah ke ladang orang, menakik getah, menumbuk padi atau pergi ke hutan mencari kayu. Yang terpenting baginya adalah dapat sesuap pagi sesuap petang. Adan dan Adin belumlah dapat diharapkan.

Pada suatu hari, entah disebabkan teruk bekerja, entah senantiasa diamuk kesedihan, entah kekurangan makan, sang emak jatuh sakit. Adan dan Adin sangat bersedih melihat emaknya sakit. Mata emaknya telah cekung, mukanya pucat, tak kuasa lagi mengambil upah. Badannya kurus, bagai kulit pembalut tulang.

Pada suatu hari sang emak memanggil kedua anaknya. Ia merasa tidak lama lagi akan mati, maka ia hendak berwasiat kepada Adan dan adin.

“Hai anakku, rasanya penyakit Emak semakin hari semakin parah jua. Walaupun kalian telah bersusah payah mengobati Emak. Rasanya Emak tak akan lama lagi.”

“Tidak Emak, tidak… Emak, jangan tinggalkan kami,” tangis Adin terisak-isak. Sambil memijit-mijit emaknya.

“Janganlah berputus asa Mak, Kami senantiasa mendoakan Emak lekas sembuh,” ujar Adan dan Adin.

“Wahai anakku, manusia hanyalah dapat berdoa dan berencana, namun keputusannya ada pada yang di atas. Allah dapat berbuat sekehendak-Nya. Kita tinggal menepati. Sekarang dengarlah pesan Emak. Kini engkau berdua telah meningkat remaja. Tenaga telah mulai kuat, akal telah pula semakin panjang. Dari itu mulai dari sekarang coba-cobalah berusaha seperti apa yang dilakukan ayah kalian dulu. Andai kata pendek pinta Emak, kalian tidak canggung bekerja. Selanjutnya terhadap engkau Adan, anakku yang tua, Eemak berharap supaya jagalah baik-baik adikmu. Dan engkau Adin, emak harapkan jagalah dirimu baik-baik, anggaplah kakakmu Adan sebagai pengganti ayah dan Emak, patuhilah dia, hormatilah kakakmu, tak lain tempat mengadu dan Allahlah tempat bertawakal semua Kita.”

Baca Juga:  Asal Mula Negeri Tanah Sepuruk-Siak Sri Inderapura

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *