Scroll ke bawah untuk melihat konten
KesenianUtama

Nyanyian Pengantar Tidur

×

Nyanyian Pengantar Tidur

Sebarkan artikel ini
Nandung. Festival nandung di Rengat. (foto: budayamelayuriau.org)

Selain fungsi sebagai tradisi lisan, nyanyian pengantar tidur juga berfungsi secara khusus. Fungsi tersebut adalah:

1. Media Ekspresi Mewujudkan Keinginan

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Penyajian nyanyian pada dasarnya adalah penyajian yang tidak hanya berperan sebagai nyanyian pengantar tidur semata, tetapi juga berupa media ekspresi penyampaian sesuatu berupa kritikan, nasihat, ataupun cinta kasih, yang tidak mungkin diungkapkan secara langsung. Pesan yang disampaikan melalui lirik nyanyian berisi berbagai keinginan atau kritikan seorang istri kepada suami, anak kepada orang tua, atau seorang anggota keluarga kepada anggota keluarga yang lain. Hal ini merupakan sebuah bentuk penyampaian pesan yang beretika, dan individu yang menjadi objek tersebut juga merasa lebih dihargai. Metode seperti ini merupakan adat dalam membina hubungan individu di dalam keluarga, dan keluarga dalam kekerabatan komunal yang lebih luas, sehingga hubungan tersebut memiliki kewibawaan. Metode ini juga ini sejalan dengan adanya batas-batas hubungan kekerabatan, yang menganggap bahwa setiap orang memiliki ruang-ruang kekuasaan tertentu yang harus dihormati.

Pranata seperti ini pada dasarnya merupakan adat yang berlaku secara luas, tidak hanya terdapat di dalam nyanyian pengantar tidur semata. Pada contoh yang lain, seorang anak gadis yang ingin menikah, maka ia tidak perlu mengatakan secara langsung. Ia cukup melakukan tingkah laku yang berbeda dari biasanya, atau melakukan pekerjaan yang sengaja salah secara berulang-ulang. Misalnya, si anak akan menjaga jarak dengan sang ayah atau tidak bersedia bertemu untuk beberapa waktu (merajuk tanpa sebab), atau memasak dengan masakan yang sedikit asin. Orang tua akan memahami dan menyadari bahwa anak gadisnya telah siap untuk berkeluarga atau telah memiliki calon suami untuk itu.

Baca Juga:  Seni Pertunjukan Koba

2. Penyajian sebagai Penyediaan Ruang
Penyajian pengantar tidur tampak sebagai penyajian yang mengutamakan kepentingan pendengar: anak. Anggapan ini kian terlihat bila melihat ciri khas nyanyian pengantar tidur yang dikemukakan James Danandjaja “lagu dan irama yang halus dan tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang, sehingga dapat membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang mendengarkan.” Namun, di balik penyajian nyanyian tersimpan kepentingan ‘terselubung’ penutur: penyajian adalah usaha untuk penyediaan ruang-ruang untuk menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang lain.

Ruang yang maksud di sini adalah kesempatan atau peluang untuk melakukan sesuatu pekerjaaan. Pada saat sang anak tertidur, maka secara langsung tercipta ruang atau kesempatan tersebut.\

3. Penyatu Ikatan Keluarga dan Komunal
Peran ini pada dasarnya merupakan refleksi ikatan kekerabatan keluarga dan komunal sebagai cerminan dari hubungan antar manusia. Wujud ikatan kekerabatan tampak dari bentuk penyajian di dalam keluarga yang melibatkan anggota keluarga ataupun penyajian di luar ruangan yang tidak bisa dilepaskan dari keterlibatan warga komunal. Peran seperti ini berpengaruh kepada sikap dan perilaku masyarakat tradisional yang pada dasarnya telah memiliki ikatan kolektivitas yang kuat.

Keberadaan nyanyian pengantar tidur dianggap sebagai bukti historis kreativitas masyarakat yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan semangat solidaritas antar sesama masyarakat tersebut. Solidaritas yang dihasilkan berdampak positif kepada penguatan ikatan batin, sehingga bisa dikatakan memudarnya tradisi di suatu daerah merupakan salah satu indikasi telah memudarnya ikatan sosial di dalam masyarakat pendukung, begitu juga sebaliknya.

Baca Juga:  Seni Pertunjukan Nyanyi Panjang

4. Media Penerapan Nilai-nilai
Nyanyian pengantar tidur berperan mewujudkan pengendalian sosial melalui lirik-lirik yang dituturkan. Lirik nyanyian mengandung keteladanan ataupun hal-hal yang menganjurkan untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Nilai-nilai tersebut ditanamkan sedini mungkin kepada sang anak dan anggota keluarga yang mendengarkan nyanyian tersebut. Nyanyian pada tahap ini bisa dikatakan sebagai media pendidikan awal untuk penerapan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat.

Teknik penyampaian nilai-nilai seperti ini memiliki kecenderungan sebagai bentuk ‘pemaksaan.’ Penyampaian yang persuasif, memungkinkan seserang akan merasa bersalah apabila tidak mengikuti atau melanggar hal-hal yang telah ditanamkan tersebut. Penyampaian yang juga dilakukan oleh orang dianggap memiliki kedudukan lebih tinggi, nenek, ibu, atau saudara perempuan yang lebih tua misalnya, merupakan bentuk elemen tertinggi di dalam struktur budaya masyarakat, sehingga nilai-nilai akan mudah diterapkan atau merasa takut apabila tidak mengikutinya.

Rujukan:
1. Taufik Ikram Jamil, dkk. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.
2. Taufik Ikram Jamil, Derichard H. Putra, Syaiful Anuar. 2020. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA Kelas X. Pekanbaru: Penerbit Narawita
3. Derichard H. Putra. 2013. Nandong untuk Anakku. Tesis pada Program Studi Antropologi FIB Universitas Gadja Mada: Yogyakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *