Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraUtama

Hikayat Awang Sulung Merah Muda

×

Hikayat Awang Sulung Merah Muda

Sebarkan artikel ini
Buku Hikayat Awang Sulung Merah Muda.

Maka Mak Sikancing pun memutar haluan sampan menuju Sungai Alam. Tak lama Awang pun datang ke pesta penikahan adiknya. Namun perangainya sangat aneh. Ia tak menyentuh sedikitpun juadah yang dihidangkan. Dalam diam ternyata ia menulis sepucuk surat yang dikirimkan ke pihak Awang Bungsu. 

Mendapat surat, Awang Bungsu bukan main marahnya. Bukannya berhenti ia pun justru bersiap menemui Awang Merah Muda, orang yang telah lancang menghambat niatnya untuk memperistri Dayang Nermah. Sesampainya di tempat Dayang Nermah awalnya situasinya baik-baik saja, seperti layaknya pihak perempuan menyambut kedatangan pihak laki-laki. Namun di tengah balas-balasan pantun itu Awang Merah Muda pun menyela. Maka pertarungan keduanya tak dapat terhindarkan. Awang Bungsu bersenjatakan sebuah keris dan Awang Merah Muda hanya bersenjata sarung keris saja. Melihat perkelahian ini, Mak Sikancing dan Dayang Nermah, hanya terdiam menahan hati. Maka pertaruang yang menegangkan pun terjadi. Akhirnya Awang Merah Mudalah yang menang sedang Awang Bungsu meninggal ditikam kerisnya sendiri. Melihat kematian ini maka pulanglah kembali pihak laki-laki ke Senderak dengan membawa kelukaan dan luka hati yang dalam. Sementara acara pernikaha terus dilanjutkan oleh Awang Merah Muda. Dengan demikian resmilah Awang Merah Muda menjadi suami Dayang Nermah. Meski begitu pesta pernikahan yang awal mulanya meriah berubah menjadi pesta yang penuh kengerian, dan duka di satu pihak.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Beberapa hari setelah pernikahan, Awang Merah Muda kemudian menceritakan sekaligus meminta izin pada Mak Sikancing untuk membawa Dayang Nermah ke tanah Jawa. Ia juga menyampiakan maksud kedatangannya selain untuk menjemput Dayang Nermah juga untuk menurunkan Lancang Kuning.

Mengenai Lancang Kuning yang lama terbengkalai penurunannya ternyata menghendaki syarat yang berat yaitu tujuh orang bunting sulung, daun gendar rusa, daun ati-ati, daun jenjuang, juga daun ribu-ribu dan bedak tepung tawar. Di antara syarat itu, yang paling sulit adalah mendapatkan syarat pertama yaitu tujuh orang bunting sulung yang tentu saja menyebabkan keharuan dari keluarga-keluarga yang istrinya terpaksa mendapat tugas berat. Pengumpulan ini memakan waktu yang lama yaitu sampai bermingu-minggu.

Setelah mendapat ketujuh orang bunting sulung dimulailah upacara penurunan Lancang Kuning di hilir Sungai Alam atau disebut Linau. Di situ ketujuh orang yang akan dijadikan galang kapal, dimandikan terlebih dahulu serta dilangir dan dibedak limau. Setelah itu tujuh orang bunting disuruh berbaring menelentang dan berbaris di depan Lancang Kuning yang akan diluncurkan. Sementara itu Dayang Nermah dan Awang Merah Muda sibuk menginca (membacuh) bedak tepung tawar, dan mengikat tiga jenis daun yang akan digunakan pada penurunan Lancang Kuning itu. Ketiga daun itu ialah daun gandar rusa, daun ati-ati dan daun jenjuang. Ketiganya diikat dengan daun ribu-ribu. Setelah itu Awang membaca jampi dan disuruhnya Dayang Nermah menepuk tepung tawar untuk tawari kapal lancang kuning itu. Dia segera mencecahkan daun yang diikat tadi ke dalam bedak dan langsung dilecutkan pada belakang lancang kuning sebanyak tiga kali. Seketika itu juga meluncurlah lancang Kuning yang terdampar selama bertahun-tahun di atas galangnya. Meluncur terus ke sungai melewati tubuh wanita hamil sulung yang sedang menelentang.  

Bukan main terkejutnya tujuh orang bunting sulung yang sudah siap menjadi galang. Sebab apa yang mereka takutkan tidak terjadi. Kemudian ketujuh orang ini diberikan seekor kambing oleh Awang Merah Muda sebagai tukar ganti atas kecemasan yang ditimbulkan. Lalu ketujuh orang ini dimandikan dengan darah kambing tersebut sebelum dipulangkan ke rumah masing-masing. 

Beberapa hari saja kapal lancang kuning tertambat, Awang Merah Muda dan Dayang Nermah kembali meminta izin kepada Mak Sikancing untuk melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa. Maka setelah mendapat restu perjalanan pun dilanjutkan. Lewat beberapa minggu menjelang, sampailah Awang bersama Dayang Nermah di Majapahit. Ia dapati Dayang Sri jawa sudah melahirkan seorang putri. Di saat yang bersamaan Raja Segentar Alam sudah pulang dari tanah suci dan bergelar Haji Sultan Mahmud. Sesampai di tanah Jawa singgah ia di Majapahit untuk menjenguk cucunya. 

Ketika berjumpa dengan cucunya itu, Haji Sultan Mahmud kemudian meminta persetujuan Awang Merah Muda dan istrinya Dayang Sri Jawa untuk memelihara anak tesebut untuk dibawa ke Bantan Rawang, untuk kemudian Sultan Mahmud memelihara cucunya itu dan bersama-sama dia di dunia bunian. Awang Merah Muda dan dayang Sri Jawa yang juga memiliki kesaktian paham akan maksud Haji Sultan Mahmud dan mengizinkan permintaan Haji Sultan Mahmud. Oleh Haji Sultan Mahmud diterimalah putri itu dan dibawa ke Bantan Rawang. Menurut cerita sesampai di Bantan Rawang raiblah kakek dan cucu tersebut di rumpun bambu bunting. Sedangkan Awang Merah Muda, Dayang Nermah dan Dayang Sri Jawa hidup dan menetap di Majapahit. Sedangkan kehidupan Mak Sikancing makin lama makin redup karena tinggal sebatang kara samapai akhirnya ia meninggal. Mak Sikancing dikebumikan di Dekat Sungai Bengkalis.

Rujukan:
Hasan Junus. 2002. Sejarah Kabupaten Bengkalis. Bengkalis: Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *