Scroll ke bawah untuk melihat konten
Adat & AdabUtama

Adat dan Tingkatan Adat

×

Adat dan Tingkatan Adat

Sebarkan artikel ini
Mengaji. Anak-anak mengaji di rumah mereka yang berada di kaki Taman Nasional Bukit Tiga Puluh (TNBT). (foto: budayamelayuriau.org)

Datuk Kaya, leluhur Melayu tua Suku Laut, telah membuat adat atau aturan tentang pembagian hasil hutan dan laut. Bagi anak negeri yang mengambil hasil hutan dan laut sebatas keperluan sendiri (tidak diperjualbelikan) tidak ada cukai atau pungutan dari lembaga adat. Bagi orang luar serta anak negeri yang mengambil untuk diperdagangkan, berlaku adat sepuluh satu. Maksudnya, kalau diambil sepuluh, maka satu diserahkan kepada lembaga adat. Sedangkan terhadap hasil sarang burung layang-layang berlaku undang (adat) sepuluh lima. Jika diambi sepuluh, lima di antaranya hams diserahkan kepada lembaga adat. Dengan cukai atau pancung inilah lembaga adat mendorong swadaya masyarakat membuat pelantar pelabuhan, jalan sepanjang kampung, membuat masjid, surau dan madrasah, sehingga masyarakat mampu mengurus dirinya sendiri.

Datuk Demang Serail leluhur Melayu Petalangan (Pangkalan Kuras, Kabupaten Pelalawan) membuat adat pembagian hasil madu lebah. yakni ‘dua dua satu’. Dua bagian untuk tukang panjat yang mengambil madu lebah pada pohon sialang, yakni kemantan dan pembantunya. Dua bagian untuk warga suku di mana ulayat pohon sialang (tempat lebah bersarang) berada dan satu bagian lagi untuk orang patut negeri atau dusun tersebut. Di samping itu, Datuk Demang Serail, juga membuat ketentuan denda terhadap siapa saja yang menebang pohon sialang dengan alasan yang tiada munasabah. Pelampau itu didenda dengan kain putih sepanjang pohon sialang yang ditebangnya.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Datuk Laksamana Raja di Laut yang merupakan leluhur Kerajaan Siak telah mengatur selat dan laut serta tentang penangkapan ikan terubuk. Selanjutnya, Datuk Perpatih membuat adat mengenai pesukuan, sehingga pewarisan pemangku adat seperti penghulu, monti dan hulubalang, menurut garis suku. Pusako turun dari mamak, turun kepada kemenakan. Akibatnya nikah kawin berlaku antar suku, sebab pihak yang sesuku dipandang bersaudara. Timbalannya, Datuk Ketumanggungan, membuat asas pergantian pemimpin berdasarkan garis darah (keturunan). Pusako turun pada anak, sesuai dengan hukum syarak. Sementara itu Datuk Bisai leluhur Melayu Kuantan Singingi membuat adat beternak dan beladang, sehingga antara peternak dan peladang tidak terjadi persengketaan, tapi menjadi harmonis dan saling menguntungkan.

Baca Juga:  Adat

Di dalam ungkapan, adat yang diadatkan disebutkan:
adat yang diadatkan
adat yang turun dari raja
adat yang datang dari datuk
adat yang cucur dari penghulu
adat yang dibuat kemudian
putus mufakat adat berubah
bulat kata adat berganti
sepanjang hari ia lekang
beralih musim ia layu
bertuhan angin ia melayang
bersalin baju ia tercampak
adat yang dapat dibuat-buat

Adat yang diadatkan termaktub di dalam pepatah petitih, undang-undang adat, dan ketetapan lainnya yang disepakati secara bersama.

Adat yang Teradatkan
Adat yang teradatkan adalah konvensi masyarakat atau keputusan hasil musyawarah yang kemudian dikokohkan menjadi adat atau aturan. Adat yang teradat lebih banyak merupakan aturan budi pekerti sehingga membuat penampilan manusia yang berbudi bahasa. Adat yang teradat telah dipelihara dari zuriat (generasi) kepada zuriat berikutnya, sehingga menjadi resam (tradisi) budi pekerti orang Melayu. Adat yang teradat dapat dikesan dari aturan panggilan dalam keluarga, masyarakat dan kerajaan, seperti misalnya panggilan ayah, bapak, ibu, emak, abang, kakak, puan. tuan, encik, tuan guru, engku, paduka, datuk, nenek, dan nenek moyang.

Adat yang teradat misalnya aturan panggilan dalam keluarga, masyarakat dan kerajaan, seperti misalnya panggilan ayah, bapak, abah, ibu, emak, abang, kakak, puan, tuan, encik, tuan guru, engku, paduka, datuk, nenek, dan nenek moyang.  Contoh adat yang teradatkan misalnya panduan berbahasa yang mencakup 4 derajat, yaitu  bahasa mendaki, bahasa mendatar, bahasa melereng, dan bahasa menurun.

Bahasa mendaki, yakni adab bertutur terhadap orang tua-tua yang harus dihormati dan disegani. Kata-kata yang dipakai hendaklah terkesan meninggikan martabat atau dengan gaya menghormati. 

Baca Juga:  Orang Patut dan Orang Siak dalam Tradisi Melayu

Bahasa melereng yaitu adab berbicara dengan orang semenda. caranya tidak boleh langsung begitu saja. Terhadap orang semenda dalam masyarakat adat, di samping dipanggil dengan gelar, juga dipakai gaya berkias atau kata perlambangan. Gunanya untuk menjaga perasaan dalam rangka menghormati orang semenda itu.

Bahasa mendatar, yakni cara berkomunikasi terhadap teman sebaya. Dalam keadaan ini kita boleh bebas memakai kata-kata dan gaya. Mulai gaya terus terang, jenaka, kiasan bahkan juga saran dan sindiran atau kritik, sesuai dengan ruang, waktu, dan medan komunikasi.

Bahasa menurun. Inilah medan komunikasi terhadap orang yang lebih muda dari kita, seperti terhadap adik, anak dan kemenakan, serta orang yang berkedudukan sosial lebih rendah dari kita. Kata-kata yang dipakai memberi petunjuk, ajaran, pedoman dan berbagai pesan mengenai kehidupan yang mulia atau bermartabat. Terhadap yang lebih rendah kedudukan sosialnya barangkali diberi gugahan, agar menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras serta memegang amanah dengan teguh, sehingga dia dapat meningkatkan taraf dan kualitas hidupnya.

Di dalam ungkapan, adat yang teradatkan disebutkan:

adat yang teradat
datang tidak bercerita
pergi tidak berkabar
adat disarung tidak berjahit
adat berkelindan tidak bersimpul
adat berjarum tidak berbenang

yang terbawa burung lalu
yang tumbuh tidak ditanam
yang kembang tidak berkuntum
yang bertunas tidak berpucuk
adat yang datang kemudian
yang diseret jalan panjang
yang betenggek di sampan lalu
yang berlabuh tidak bersauh
yang berakar berurat tunggang
itulah adat sementara
adat yang dapat dialih-alih
adat yang dapat ditukar salin

Rujukan:

Baca Juga:  Kesantunan dalam Bahasa Melayu

1. Tenas Effendy. 1991. Adat Istiadat dan Upacara Adat Perkawinan di Bekas Kerajaan Pelalawan. Pekanbaru: Lembaga Adat Daerah Riau & Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Riau
2. Elmustian Rahman, Derichard H. Putra, Abdul Jalil. 2009. Riau Tanah Air Kebudayaan Melayu. Pekanbaru: Program Muhibah Seni Universitas Riau
3. Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau
4. Taufik Ikram Jamill, dkk. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru Pendidikan Budaya Melayu Riau. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *