Scroll ke bawah untuk melihat konten
Uncategorized

Tapak Lapan

×

Tapak Lapan

Sebarkan artikel ini

Berladang padi dengan pola tradisional ladang berpindah sudah dilakukan secara turun temurun. Teknik ini menyeimbangkan kesuburan tanah dan kelestarian alam. Pembukaan tanah peladangan tidak dilakukan secara bebas, tetapi dipenuhi dengan hukum-hukum hutan-tanah dan pantang larang yang diatur secara ketat di dalam adat. Pembukaan tanah peladangan juga hanya bisa dilakukan di rimba cadangan atau bencah, dan tidak dibenarkan di rimba larangan ataupun rimba kepungan sialang.

Pola berladang dilakukan secara evolusi dan berkesinambungan. Pembukaan hutan pertama kali diperuntukkan dengan menanam padi untuk dua musim tanam. Tanah peladang yang telah selesai digunakan dilanjutkan dengan menanam tanam keras seperti karet. Pembukaan ladang berikutnya dilakukan pada salah satu sisi ladang secara bertahap. Apabila selesai berladang padi, ditanami lagi tanaman keras. Begitu seterusnya sehingga terbuka beberapa lahan perkebunan. Tradisi menanam tanaman keras setelah berladang juga menjaga hutan-tanah tetap produktif dan tidak menjadi hutan gundul.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Berladang pada dasarnya tidak hanya sekadar menanam padi atau tanaman lainnya, namun juga menjaga kekayaan dan kekhasan budaya. Aktivitas berladang selalu diiringi dengan mitos-mitos dan pelaksanaan ritual dan upacara. Hal ini dimaksudkan sebagai batas-batas yang mengatur pola berladang sebagai bagian dalam menjaga hutan-Tanah. Dengan sistem perladangan yang khas tersebut, masyarakat Melayu memahami dan mengerti hubungan antara manusia dan alam secara utuh. Tanah, sungai dan hutan merupakan jiwa, raga dan menyatu dengan kehidupan kebudayaan.

Tahapan berladang didahului dengan membentuk kelompok berladang, disebut tobo atau batobo, yang terdiri dari beberapa kepala keluarga. Apabila kelompok berladang sudah terbentuk, dilanjutkan dengan menentukan lahan ulayat yang akan dibuka. Kemudian secara berurutan dilanjutkan dengan membuka lahan, menebang kayu, membakar lahan, memerun, menanam benih padi yang diselingi tanaman palawija seperti lada, mentimun, kacang-kacangan, sayur-sayuran seperti daun katuk, peria, rimbang, ubi jalar, mengkuang dan lain-lain, menyiang atau membersihkan lahan padi, panen padi, dan diakhiri menanam tanam keras seperti karet.

2. Berkebun (Perkebunan)
Berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan. Jenis pekerjaan ini, mendukung jenis pekerjaan lainnya, seperti berkebun kelapa, berkebun kopi, kebun cengkeh, berkebun merica, berkebun durian, dan lain-lain.

Berkebun berkaitan erat dengan pola ladang berpindah. Perkebunan yang dilakukan berupa tanaman keras seperti kelapa, getah, dan sebagian kecil pohon sagu. Kebun karet umumnya ditemukan secara luas di wilayah daratan, kebun kelapa di wilayah pesisir, sedangkan pohon sagu pada wilayah kepulauan. Pilihan jenis tanaman kebun tersebut berdasarkan kondisi geografis wilayah yang cocok dengan tanaman yang di tanam.

Di dalam memproduksi karet, penakik sudah mulai bekerja sejak sebelum subuh hingga tengah hari. Pekerjaan pada subuh dilakukan untuk meningkatkan produksi getah karena pohon karet akan mengeluarkan getah lebih banyak saat dingin. Selain itu, aktivitas ini juga memaksimalkan efektifitas waktu.

Setelah selesai menakik, penakik akan melanjutkan pekerjaan lainnya seperti mencari ikan, berkebun palawija di teratak, mengambil hasil dusun, beternak, ataupun mengumpulkan hasil hutan seperti rotan, menggetah burung kuaran pada musim penghujan, mencari damar dan gaharu, dan lain sebagiannya.

3. Menangkap Ikan  (Perikanan)
Menangkap ikan dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan tangkap tradisional seperti jaring, sundang, pengilau, jala, sero atau kolobuik, lukah, kelulung, tajur atau jantang, rawai, guntang, kail, kacau tangguk, tengkalak, tempuling atau serampang, langgai, belat, jermal, bubu, dan kelong. Alat-alat tangkap ini disesuaikan dengan jenis ikan yang akan ditangkap, musim yang sedang dilalui, ataupun tempat penangkapan ikan. Misalnya, ikan patin dan belida ditangkap dengan jaring atau lukah, sedangkan ikan jenis puyuh atau tuman menggunakan jala. Jika pada musim hujan atau banjir menggunakan jaring, maka pada musim kemarau menggunakan tangguk.

Menangkap ikan umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Hasil tangkapan bisa dipasarkan secara langsung berupa ikan segar atau diolah terlebih dahulu menjadi ikan kering seperti ikan asin, bilis, salai, dan belacan. Mencari ikan dapat dilakukan di laut, sungai dan anak-anak sungai, danau, tasik, dan bencah.

Menangkap ikan di laut, pendirian kelong tidak saja berfungsi sebagai tempat mencari ikan tetapi juga pengolahan. Hal ini sama  dengan bagan yang dibangun saat mencari ikan di sungai, yang juga difungsikan sebagai tempat menyalai ikan. Pola demikian merupakan sistem kearifan lokal untuk mengagasi permasalahan berdasarkan kondisi geografi. Kelong dibangun di laut dangkal yang jauh dari pantai, sedangkan bagan di bangun di pinggir-pinggir sungai tidak jauh dari lubuk tempat mencari ikan.

Alat tangkap yang digunakan merupakan peralatan tradisional yang tidak merusak ekosistem perairan. Alat-alat berupa jermal, lukah, jala, jaring, belat dan lain sebagainya dibuat secara pribadi atau diupahkan kepada pengrajin yang berada di kampung. Jenis ikan sungai yang diambil misalnya ikan selais, gabus, kapiyek, mujair, kopar, limbat, sembilang, baung, dan tapa. Beberapa jenis ikan diolah menjadi ikan salai seperi selais, gabus, dan limbat. Ikan laut yang diambil sejenis teri, tamban dan lainnya.

3. Beternak (Peternakan)
Beternak dapat ditransformasikan dengan pekerjaan berburu yang sama tujuannya untuk urusan pemenuhan sumber protein daging. Pekerjaan ini umumnya dilakukan untuk mengisi waktu luang.   Hewan ternak utama yang dipelihara berupa kerbau, sapi, dan kambing. Sedangkan pemeliharaan hewan lainnya berupa ayam dan itik dilakukan dengan memanfaatkan pekarangan rumah.

Hewan ternak utama digembalakan di padang penggembalaan terutama saat musim Berladang. Padang penggembalaan menjadi bagian Tanah Ulayat yang dimiliki secara bersama. Sedangkan kandang ternak dibangun di tanah pekarangan atau di tanah kandang yang berdampingan dengan padang penggembalaan.

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *