Scroll ke bawah untuk melihat konten
Uncategorized

Talang Mamak

×

Talang Mamak

Sebarkan artikel ini

Patih tetap meneruskan niatnya dan menjemput raja ke Malaka.Setelah raja tiba di Inderagiri, telah disiapkan sebuah kolam atau sumur yang dindingnya terbuat dari loyang untuk dinobatkan. Kampung tempat kolam itu dibuat kemudian dikenal dengan nama Keloyang.

Semua keturunan Patih itu disebut “Langkah Lama”, karena telah lebih dahulu bermukim di Inderagiri. Tapi, karena pihak Sultan Indragiri memanggil lelaki suku tersebut dengan kata mamaksebagai baso-baso (sekedarnya saja) akhirnya terkenal pula dengan sebutan Suku Talang Mamak.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Versi ini juga menyebutkan bahwa Patih Inderagiri itu mempunyai tiga putera, Kelopak, Besi, dan Bunga yang kemudian menurunkan suku Nan Sebatang. Setelah agama Islam berkembang, mereka terbagi dua; yang menetap di Keloyang lebih menaati agama Islam dan yang berada di tiga balai (Talang Parit, Talang Perigi dan Durian Cacar) yang tetap teguh dengan adat lama.

Agama Islam
Agama Islam telah masuk dalam kehidupan orang Talang Mamak, meskipun kepercayaan tradisional mereka juga masih kuat dipegang. Orang Talang Mamak mempercayai berbagai makhluk halus yang bisa menempati benda dan tempat. Berbagai barang kepunyaan nenek moyang seperti keris, pedang dan pakaian dianggap masih mempunyai kekuatan gaib, sehingga disimpan oleh patih dan tidak seorangpun boleh melihatnya.

Bagi orang Talang Mamak, Tuhan mereka adalah Allah yang menciptakan Adam dan Hawa. Menurut kepercayaan mereka di antara sembilan keturunan Adam dan Hawa, seorang di antaranya adalah perempuan tanpa suami, telah melahirkan nenek-moyang orang Talang Mamak yaitu Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Kenabian Muhammad Saw juga diterima sebagai pembawa syariat Islam. Tetapi syariat itu tidak perlu mereka jalankan karena tujuan syariat Islam dan adat mereka, yang disebut dengan “Langkah Lama”, sama yaitu untuk memberikan kebahagian dunia akhirat. Inilah yang menyebabkan orang Talang Mamak selalu menolak kehadiran Kristen dan Katolik, sebab adat mereka itu telah dipandang sama dengan syariat Islam. Sedangkan agama non-Islam itu dipandang tidak sama dengan Islam.

Adat juga menjadi pedoman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaannya disebut “berjenjang naik bertangga turun”.Maksudnya tiap kasus atau persoalan lebih dahulu diselesaikan di tingkat pemangku adat yang terendah, misalnya seperti penghulu. Kalau tidak selesai, naik pada lebih tinggi lagi, misalnya monti, dan begitu seterusnya sehingga mencapai yang tertinggi yaitu patih, lalu turun sampai yang paling bawah. Maka ada beberapa ketentuan adat orang Talang Mamak yang penting:

Adat Talang Mamak mengenal dua macam hukuman, yaitu “hukuman salo”dan “hukuman denda adat”. Hukuman salo yaitu berdamai antara dua pihak yang bermasalah, sedangkan hukuman denda adat merupakan kewajiban membayar denda karena pelanggaran adat.

Struktur Sosial Suku Talang Mamak dimasa lalu adalah sebagai berikut: Sultan Kerajaan Inderagiri, mengatur dan memelihara hukum dalam kerajaannya, sesuai dengan undang-undang yang telah dibuatnya. Patih, pada masa kerajaan ia adalah menteri khusus yang mengatur Suku Talang Mamak dengan ketentuan adatnya, “Langkah Lama”. Pihak kerajaan tidak mencampuri kekuasaan patih. Yang dapat menempati kedudukan ini hanyal;ah keturunan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Namun, sekarang patih kehilangan kedudukan politisnya dan hanya dipandang sebagai pimpinan lembaga adat tertinggi. Untuk pemerintahan sehari-hari tiap talang (desa) Talang Mamak dipimpin oleh batin dengan dibantu monti, dubalang, dan penghulu. Dukun atau bomo, memegang peran adat yang khas, terutama dalam berbagai ritual adat sehari-hari seperti dalam turun ke ladang, menyemah tanah peladangan, tanah perumahan dan pengobatan. Rakyat Talang Mamak yang terdiri dari petani, nelayan, berburu dan meramu (mengambil hasil hutan).

Upacara perkawinan biasanya dipimpin oleh seorang batin atau wakilnya seperti monti. Kesenian yang berkembang dalam masyarakat Talang Mamak diantaranya tari piring, berarak, dan silat. Tradisi lisan yang berkembang adalah Kaba yang membawakan cerita-cerita seperti Kaba Bujang Rumandung, Kaba Ampai Janjang dan Kaba Sunting Nagari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *