Scroll ke bawah untuk melihat konten
SejarahUtama

Masyarakat Adat Talang Mamak

×

Masyarakat Adat Talang Mamak

Sebarkan artikel ini
Kakak adik Talang Mamak di Talang Lakat. (foto: budayamelayuriau.org)

Talang Mamak Sungai Limau meyakini mereka berasal dari keturunan Datuk Mendarjati, sedangkan Talang Mamak Batang Gangsal menganggap diri mereka keturunan tiga bersaudara, yaitu Datuk Ria Belimbing, Datuk Ria Tanjung dan Datuk Ria Muncak.

Dari teks lisan yang dikemukakan oleh Patih Sutan Pangeran, yaitu patih Suku Talang Mamak yang ke-28 dikatakan bahwa Suku Talang Mamak mempunyai hubungan yang erat dengan Datuk Perpatih Nan Sebatang, yang bertugas sebagai kelana, memeriksa berbagai daerah di Rantau Kuantan. Setiap memeriksa kawasan Rantau Kuantan Datuk Perpatih mengakhiri perjalanannya dengan mengambil tempat di Sungai Limau, dekat Keloyang sekarang ini. Akhirnya Datuk Perpatih menetap di tempat ini.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Karena Inderagiri semakin ramai juga, maka Datuk Perpatih memanggil seorang kemenakannya yang berada di Johor, bernama Raja Asli untuk dinobatkan menjadi raja di Inderagiri. Penobatan itu telah dilakukan pada suatu kolam yang terbuat dari loyang, sehingga kemudian disebut Keloyang.

Menurut teks ini, Raja Kerajaan Inderagiri adalah kemenakan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Setelah Kerajaan Inderagiri memeluk agama Islam, maka Datuk Perpatih dengan keturunannya memisahkan diri dengan membangun kampung petalangan (di pinggir hutan) yaitu di Durian Cacar. Karena petalangan itu menjadi tempat tinggal Datuk Perpatih, maka pihak Kerajaan Inderagiri memperlakukannya sebagai daerah istimewa, dalam arti kerajaan tersebut tidak mencampuri kehidupan masyarakat talang itu. Sebaliknya, rakyat petalangan memberikan penghormatan kepada pihak kerajaan dengan memberikan semacam hadiah kepada Sultan Inderagiri setiap Bulan Haji. Karena Datuk Perpatih adalah mamak raja yang berada di petalangan, maka talang (kampung dalam hutan) tempat tinggalnya kemudian dikenal dengan nama “Talang Mamak”,yang berarti talang tempat kediaman mamak.

Versi teks lisan lainnya bersumber dari Tengku Arif. Dalam versi ini dikatakan bahwa di Kerajaan Inderagiri, raja memerintah dengan didampingi oleh seorang Patih sebagai Perdana Menteri dan seorang Temenggung yaitu Datuk Temenggung Kuning. Karena takut mendapat serangan Singosari tahun 1275 dengan Ekspedisi Pamalayu-nya yang telah sampai ke Kerajaan Pamalayu di Jambi, maka Patih mengusulkan untuk memanggil Raja Indragiri yang berada di Malaka, yaitu Raja Narasinga II (1423-1523) agar kembali. Keinginannya ini disampaikannya kepada Datuk Temenggung (yang berkuasa sebagai raja di rantau). Namun, kedua pembesar itu tidak sepakat. Mereka berbeda pendapat ketika bertemu di Bukit Bertingkah.

Baca Juga:  Hingga Kini, RUU Masyarakat Adat Masih Belum Disetujui DPR

Patih tetap meneruskan niatnya dan menjemput raja ke Malaka.Setelah raja tiba di Inderagiri, telah disiapkan sebuah kolam atau sumur yang dindingnya terbuat dari loyang untuk dinobatkan. Kampung tempat kolam itu dibuat kemudian dikenal dengan nama Keloyang.

Semua keturunan Patih itu disebut “Langkah Lama”, karena telah lebih dahulu bermukim di Inderagiri. Tapi, karena pihak Sultan Indragiri memanggil lelaki suku tersebut dengan kata mamaksebagai baso-baso (sekedarnya saja) akhirnya terkenal pula dengan sebutan Suku Talang Mamak.

Versi ini juga menyebutkan bahwa Patih Inderagiri itu mempunyai tiga putera, Kelopak, Besi, dan Bunga yang kemudian menurunkan suku Nan Sebatang. Setelah agama Islam berkembang, mereka terbagi 2 kelompok besar yaitu yang menetap di Keloyang lebih menaati agama Islam dan yang berada di tiga balai (Talang Parit, Talang Perigi dan Durian Cacar) yang tetap teguh dengan adat lama.

Sementara menurut pendapat lain, Talang Mamak merupakan bagian dari Proto Melayu (Melayu Tua) yang diperkirakan datang ke nusantara sekitar 2500-1500 SM. Mereka bermigrasi dari daratan Asia dengan evolusi memudiki sungai dan berdiam di muara-muara anak sungai yang dilalui. Kedatangan Dutro Melayu (Melayu Muda) sekitar 300-250 SM membuat mereka terdesak dan akhirnya menyingkir hingga masuk ke daerah pedalaman. Dutro Melayu yang berada di pesisir membuat mereka berasimilasi dengan kebudayaan lain, sedangkan Talang Mamak tetap mempertahanakan adat tradisinya. Di Riau, selain Talang Mamak, Proto Melayu lainnya adalah Sakai/Bonai, Duanu, Laut, Akit, dan lain sebagainya.

Baca Juga:  Hingga Kini, RUU Masyarakat Adat Masih Belum Disetujui DPR

Perkampungan “Suku”
Masyarakat Talang Mamak mendiami 2 wilayah yang mereka sebut dengan tiga balai dan ranting cawa. Tiga balai disebut juga sebagai suku nan tiga atau ‘suku asal” meliputi Talang Durian Cacar, Talang Perigi, dan Talang Sungai Limau. Suku nan tiga kemudian berkembang menjadi suku nan enam yaitu Talang Durian Cacar, Talang Perigi, Talang Parit, Talang Sungai Limau, Talang Gedabu, dan Talang Jerinjing. Setiap suku (boleh juga disebut dengan perkampungan atau perbatinan) di pimpin oleh seorang batin.

Sedangkan ranting cawa merupakan perkembangan selanjutnya yang bermukim di Belongkawang, Sungai Todung, Tujuh Tangga, Sungai Akar, Siambul, Talang Lakat, dan Empang Keranji. Kedua kelompok ini berada di pinggiran Sungai Inderagiri, Sungai Cinaku, Sungai Retih, serta Sungai Akar dan Batang Gangsal yang berada Bukit Tigapuluh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *