Scroll ke bawah untuk melihat konten
Pemimpin dalam Budaya MelayuUtama

Etika Kepemimpinan Melayu Riau

×

Etika Kepemimpinan Melayu Riau

Sebarkan artikel ini
Penghulu Pangeang 1910. (foto: budayamelayuriau.org)

3. Fathanah, Cerdas atau Berilmu
Fathanah dapat diartikan secara umum sebagai cerdas atau kecerdikan dan kebijaksanaan. Sifat kecerdasan yang dimiliki oleh semua manusia berkaitan dengan pemikiran dan pengalaman (pendidikan).  Maka, kepada pemimpin, diharapkan memiliki kecerdasan dan memiliki ilmu yang luas. Dengan kecerdasan tersebut, pemimpin diharapkan mampu menyelesaikan soalan sosial kemanusiaan secara arif. Kebijakan yang dibuat berdasarkan pengetahuan tentu jauh lebih baik dibandingkan dengan kebijakan tanpa pengetahuan.

Pemimpin mesti memiliki akal yang panjang dalam menyelesaikan soalan yang dihadapi. Penyelesaian yang dilakukan didasari dengan keadilan dan tidak tergantung pada orang lain. Pemimpin cerdik terbentuk secara alami melalui perjalanan hidup seseorang, sehingga mampu menumbuhkan rasa kemandirian dan kecermatan dalam memimpin.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

4. Tabliq
Pemimpin adil akan menciptakan rasa nyaman dan aman dalam kehidupan bermasyarakat. Perlakuan pemimpin yang mengutamakan keadilan dalam setiap persoalan kehidupan menjadi tiang tonggak keutuhan bermasyarakat. Sifat tabliq juga memiliki arti komunikatif. Seseorang yang memiliki sifat tabligh akan menyampaikan dengan benar dengan tuturan yang tepat. 

Keadilan wujud jika pemimpin bersikap saling mengayomi antara kaum tua serta muda, puak juga resam, negeri-negeri, dan sebagainya. Dengan demikian, melalui kejujuran tersebut akan mampu menghilangkan kecemburuan sosial, meningkatkan kekukuhan masyarakat, serta mendapat banyak sokongan untuk kebaikan dan keberlangsungan dalam kehidupan bermasyarakat.

Baca Juga:  Pakaian Batin Pemimpin

Dari keempat syarat menjadi pemimpin di atas, beberapa kategori pemimpin dapat dibedakan menjadi pemimpin amal (pemimpin yang menjadikan jabatannya sebagai ladang ibadah), pemimpin jantan (pemimpin yang mempunyai sifat berani), pemimpin jujur (pemimpin yang memiliki keimanan dan ketakwaan kepada Allah), pemimpin asin (pemimpin yang mengatakan hal sebenarnya tanpa menutup-nutupi atau berusaha terlihat baik), pemimpin asuh (pemimpin yang menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya, rela berkorban, dan arif dalam bertindak), pemimpin cerdik (pemimpin yang panjang akalnya dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi pada saat menjadi pemimpin), pemimpin lurus (pemimpin yang mampu melindungi negerinya dari berbagai macam permasalahan), pemimpin sabar (pemimpin yang sabar dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi masyarakat), pemimpin abdi (pemimpin yang menjalankan asas manfaat), dan pemimpin acu (pemimpin yang selalu menyampaikan segala hal dengan mengacu pada perintah agama). Keseluruhan kategori pemimpin tersebut akan diperoleh apa bila keempat syarat tersebut dapat dipenuhi.

D. Syarat Mengganti Pemimpin
Dalam kepemimpinan Melayu, pergantian pemimpin tidak diatur sesuai periode yang kita kenal dianut sistem pemerintahan formal saat ini. Masa jabatan ditentukan berdasarkan kesanggupan fisik, kepatutan, tiada melanggar hukum, sehat rohani, serta umur. Ketentuan mengganti pemimpin (dikarenakan sakit menahun) tidak dilakukan secara sepihak tanpa sepengetahuan orang yang akan diganti. Sebab, pergantian pemimpin sebagai kepentingan bersama dan untuk membangun adab manusia.

Baca Juga:  Adat

Berikut syarat mengganti pemimpin dalam adab Melayu.

1. Idap menahun yang diderita seseorang yang tengah memimpin. Idap yang dimaksud adalah idap sakit jasmani atau rohani. Biasanya jika seorang pemimpin telah mengidap sakit dan tiada hilang kesadaran, ia akan meminta untuk digantikan. Misalnya, seorang datuk (mamak/engku/paman) yang sakit akan meminta digantikan oleh kemenakannya yang dipercayai mampu memimpin puak atau kaumnya.

2. Pemimpin yang melanggar kepatutan atau tidak taat pada hukum yang disepakati bersama. Perilaku melanggar kepatutan dikatakan dalam ungkapan pemimpin tiada boleh terpijak arang. Pemaknaan arang bagi orang Melayu adalah benda yang tiada akan berubah warna jika dibasuh dengan air limau dan air mawar sekalipun. Maka ungkapan pemimpin tiada boleh terpijak arang dapat dimaknai seseorang pemimpin yang telah berbuat malu. Perbuatan malu tersebut bukan hanya dilakukan seorang pemimpin saja, tetapi juga berkenaan dengan anak dan istrinya.

3. Seorang pemimpin yang menghilang tiada tahu alamnya. Kepergiannya tiada meninggalkan kabar. Bagaikan batu jatuh ke lubuk yang dalam dan hilang. Ketiadaan pemimpin tentulah menjadikan orang yang dipimpin tak tahu arah.  Pemimpin tiada boleh terpijak ke lapik orang. Maksud ungkapan ini berkenaan dengan hakikat kepemimpinan. Seorang yang berlaku merugikan orang lain atau merampas hak orang lain tiada boleh dipatuhi sebagai pemimpin. Pemimpin demikian dianggap tidak patut dan kehilangan wibawa.

Baca Juga:  Pemimpin dalam Budaya Melayu

4. Ukur sudah janjipun sampai maka pemimpin dapat diganti sesuai ketentuan. Takdir seorang manusia berpulang ke rahmatullah itu pasti adanya. Tiada kemampuan manusia dalam menolak kematian.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *