Scroll ke bawah untuk melihat konten
Adat & AdabLingkup Materi

Komunitas Sakai: Sejarah dan Sistem Perbatinan

×

Komunitas Sakai: Sejarah dan Sistem Perbatinan

Sebarkan artikel ini

Perbatinan pada zaman Kemerdekaan Republik Indonesia

Pada zaman pemerintah Belanda dan Jepang nasib orang Sakai tidak pernah diperhatikan, maka dalam zaman pemerintahan Republik Indonesia kehidupan dan nasib orang Sakai, sama dengan nasib kelompok-kelompok masyarakat terasing lainnya, diperhatikan oleh pemerintah Indonesia dan diusahakan untuk diperbaiki dan ditingkatkan taraf dan nasib kehidupannya. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia di Riau sejak sekarang ini terhadap orang Sakai adalah menjadikan mereka sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, dengan cara memasyarakatkan mereka dan membebaskan mereka dari keterasingan atau isolasi.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Usaha-usaha tersebut dimulai pada tahun 1954, yang dilakukan melalui sebuah wadah kegiatan yang dinamakan “Civilisatie Masyarakat Terasing” dengan kegiatan-kegiatan melakukan inventarisasi jumlah penduduk dengan cara-cara hidup mereka. Pada tahun 1963, sebagai hasil lebih lanjut dari Civilisatie tersebut, didirikan Pos PMT (Pemukiman Masyarakat Terasing) di Muara Basung didirikan di hutan yang telah dibersihkan. Bangunan yang pertama dibangun adalah kantor dan dua buah rumah untuk petugas lapangan. Pada tahun 1964 mulai dibangun perumahan untuk penduduk orang Sakai yang akan dimukimkan. Rumah yang dibangun sebanyak 70 buah rumah, dan bersamaan dengan itu para petugas lapangan mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang tinggal di ladang-ladang mereka, dalam kelompok-kelompok kecil 2 atau 3 rumah, di tepi-tepi sungai sekitar Muara Basung dalam radius 17 kilometer. Ketika pada tahun 1965 perumahan untuk pemukiman tersebut selesai dibangun, dan penduduk di sekitar Muara Basung secara mental sudah siap untuk masuk ke pemukiman, mereka memasuki pemukiman dan tinggal di pemukiman tersebut sampai dengan permulaan tahun 1970. Jumlah yang tercatat masuk dan tinggal di PMT tersebut pada tahun 1965 ada 68 keluarga. Masing-masing keluarga tersebut menerima tanah garapan seluass 32 (80 meter persegi).

Baca Juga:  Talang Mamak dan Sistem Perbatinan

Selama satu tahun mereka diberi bekal hidup secara cuma-cuma oleh pemerintah, berupa bahan-bahan makanan pokok, pakaian, dan peralatan dapur. Mereka juga diberi alat-alat pertanian sederhana (pacul dan parang oleh pemerintah), diberi pinjaman bibit padi untuk bertanam padi di ladang, dan bibit-bibit lainnya yang diperlukan. Pemerintah juga menyediakan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma, dan juga sebuah pesawat televisi (dengan tenaga beterei) yang dapat dinikmati bersama pada petang hari. Mereka diberi tambahan pendidikan dan pengetahuan keterampilan dalam pertanian, dan dalam hidup bermasyarakat secara bergotong royong dan saling menghormati (antara lain diajari berpakaian yang benar di muka umum). Tetapi yang terpenting diantara semua ini adalah pendidikan sekolah yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial dan kemudian oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sejak tahun 1963 di Muara Busung telah didirikan sebuah sekolah, namanya persiapan Sekolah Dasar, yang terdiri atas sebuah ruang kelas dan seorang guru dengan jumlah muridnya 16 orang. Sebenarnya sekolah inilah yang telah menjadi sumber utama daya tarik orang Sakai untuk bermukim di Pos PMT Muara basung, yaitu karena mereka menginginkan anak-anak mereka dapat bersekolah dan maju. Mereka mau tinggal di PMT Muara Basung untuk dapat berdekatan dengan tempat bersekolah anak-anak mereka.

Pada 1967 ruang kelas roboh. Robohnya ruang kelas ini berkebetulan dengan keinginan Departemen Sosial dan para warga setempat untuk memperbesar dan memperbanyak ruang kelas karena jumlah murid bertambah banyak., yaitu ada 65 orang yang secara berpadatan duduk di ruang kelas secara bergiliran pagi dan sore. Segera dibangun sekolah darurat baru yang selesai dibangun pada tahun 1968, ruang kelasnya ada 4 buah. Baru pada tahun 1982 sekolah ini menjadi SD 6 tahun yang dikelola oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jumlah murid pada tahun 1968 ada 94 orang, dan 5 orang diantaranya dinyatakan tamat sekolah. Pada tahun 1969 jumlah ada 114 orang, dan pada tahun 1970 jumlah murid ini menurun menjadi hanya 48 orang karena sebagian murid-murid tersebut ikut orang tuanya kembali ke hutan. Murid-murid yang tinggal adalah anak-anak dari keturunan orang Melayu, para pendatang asal Minagkabau, Batak, Jawa, dan anak-anak dari keluarga orang Sakai yang tetap tinggal di Muara basung.

Baca Juga:  Talang Mamak dan Sistem Perbatinan

Pembangunan ynag dilaksanakan secara besar-besaran oleh pemerintah dalam zaman Orde Baru ini telah juga ikut dinikmati oleh orang Sakai, baik yang telah dimukimkan dan dibina di PKMT maupun yang hidup mengelompok dalam satuan-satuan kelompok masyarakat kecil, yaitu berupa fasilitas-fasilitas jalan raya, pengangkutan umum kendaraan bermotor yang relatif murah dan mudah, hasil-hasil industri, dan berbagai komoditas lainya yang dapat mereka beli di kedai-kedai dan pasar-pasar setempat, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial yang diperlukan. Kegiatan-kegiatan pemerintahan di Riau telah menyebabkan orang sakai juga menjadi terbuka pikirannya tentang politik.

Rujukan:
Elmustian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.
Tim Penyusun LAMR. 2018. Buku Sumber Pegangan Guru. Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *