Scroll ke bawah untuk melihat konten
Adat & AdabLingkup Materi

Komunitas Sakai: Sejarah dan Sistem Perbatinan

×

Komunitas Sakai: Sejarah dan Sistem Perbatinan

Sebarkan artikel ini

Perbatinan pada Zaman Pemerintahan Kerajaan Siak

Para Batin Orang Sakai (baik Perbatinan Lima maupun Perbatinan Delapan) memperoleh surat pengangkatan menjadi Batin dari Raja (Sultan) Siak. Dua kelompok perbatinan tersebut diperlakukan sebagai sebuah satuan administrasi kekuasaan yang memiliki wilayah kekuasaan masing-masing. Pemerintahan Kerajaan Siak menarik pajak dan upeti dari perbatinan-perbatinan tersebut. Pajak dan upeti yang diberikan kepada sultan terdiri atas hasil hutan dan pekerja. Pajak-pajak tersebut dalam wilayah Perbatinan Lima diserahkan kepada Raja Siak melalui tangan Penghulu (Kepala Desa) Mandau; sedangkan pajak-pajak dari Perbatinan Delapan diserahkan melalui tangan Penghulu Petani. Adapun gadis-gadis orang Sakai diserahkan di Balai Pungut, tempat para bangsawan beristirahat (Balai = rumah/tempat, dan Pungut = memungut/memilih untuk diambil). Seorang Batin memperoleh bagian kira-kira 10 % dari pajak-pajak yang telah dikumpulkan dan diserahkan kepada raja tersebut. Balai Pungut pada awalnya berupa sebuah tempat dengan beberapa rumah yang dihuni oleh Orang Melayu yang menjadi pegawai Kerajaan Siak. Tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga Raja Siak.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Pengangkatan seorang Batin pada zaman Kerajaan Siak dilakukan dalam suatu upacara penobatan yang meriah. Sultan Siak juga mengangkat seorang wakil Batin yang diberi nama Tongkek. Penobatan Tongkek tidak semeriah upacara penobatan Batin. Tugas seorang Tongkek adalah membantu pekerjaan-pekerjaan Batin, khususunya dalam kegiatan pengumpulan pajak, atau pada saat Batin berhalangan. Di samping mengumpulkan pajak, batin juga menjaga ketertiban kehidupan di pemukiman (menjaga jangan sampai terjadi pencurian, perbuatan maksiat, dan perkelahian), dan menyelesaikan atau mendamaikan konflik-konflik yang terjadi karena penipuan, pencurian, dan perbuatan-perbuatan maksiat (perzinahan). Seorang Batin dapat menjatuhkan hukuman denda kepada warga masyarakat yang dipimpinnya. Sedangkan hukuman yang lebih berat misalnya hukuman badan ataupun mengadili suatu kasus pembunuhan, harus di serahkan kepada pihak kerajaan di Balai Pungut, dan dalam zaman Belanda diserahkan kepada Opas atau Polisi.

Baca Juga:  Talang Mamak dan Sistem Perbatinan

Perbatinan Zaman Penjajahan Belanda dan Jepang

Masyarakat Sakai tinggal di tempat-tempat pemukiman yang terletak di daerah pedalaman dan selalu menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, maka mereka tidak pernah atau jarang mempunyai hubungan langsung dengan orang Belanda atau kekuasaan pemerintah jajahan Belanda yang ada di Riau. Kegiatan pencaharian dan pengeboran minyak telah dilakukan di wilayah Mandau sejak sebelum Perang Dunia II tetapi kontak-kontak langsung dengan orang-orang asing (Belanda khususnya) hampir tidak pernah terjadi. Menurut keterangan beberapa orang Sakai yang telah lanjut usia, mereka selalu menghindari orang asing baik orang Belanda maupun orang Melayu karena takut dan malu.

Kekuasaan pemerintah penjajahan Belanda di Riau, sama halnya dengan di daerah-daerah lainnya di Indonesia, dimantapkan dengan menggunakan kekuasaan dari penguasa-penguasa traditional setempat. Di Mandau dan sekitarnya adalah dengan melelui kekuasaan Raja Siak. Sehingga, orang Sakai hanya mengetahui dan merasakan kekuasaan dan kewibawaan Kerajaan Siak, dan ini pun dilakukan melalui para Batin orang Sakai. Jika terjadi peristiwa luar biasanya misalnya pembunuhan, akan ditangani oleh opas atau polisi, yang merupakan alat kekuasaan pemerintah Belanda. Selama zaman pendudukan Jepang kehidupan orang Sakai tidak terlalu dipedulikan. Mereka dibiarkan menjalani cara hidup mereka sebagaimana sebelumnya. Masyarakat Sakai juga terbebas dari kewajiban membayar pajak ataupun kerja paksa, walaupun wilayah mereka dijadikan tempat kegiatan-kegiatan pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan lainnya. Mereka melihat kekejaman tentara Jepang terhadap para pekerja wajib (romusha) yang didatangkan dari Jawa. Sebagian kecil dari romusha dapat melarikan diri dari rombongan romusha tersebut. Mereka ditolong dan diberi makan atau disembunyikan oleh orang-orang Sakai. Di antara mereka yang ditolong kemudian hidup menikah dan menjadi masyarakat Sakai. Di Muara Busung ada dua orang Sakai yang menyatakan bahwa ayah mereka adalah romusha yang melarikan diri dan kawin dengan ibu mereka orang Sakai. Di PKMT Sialang Rimbun juga ada dua orang warganya yang berayahkan seorang pelarian romusha.

Baca Juga:  Talang Mamak dan Sistem Perbatinan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *