Scroll ke bawah untuk melihat konten
Alam & Kearifan EkologiUtama

Hutan-Tanah

×

Hutan-Tanah

Sebarkan artikel ini
Hutan-tanah. (foto: budayamelayuriau.org)

HUTAN-TANAH adalah satuan wilayah adat yang dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat dalam sistem hak-hak adat Melayu Riau. Hutan-tanah dikelompokan dalam dua bagian yaitu hutan-tanah kayat dan hutan-tanah ulayat. Hutan-tanah kayat berlaku di dalam wilayah yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sedangkan hutan-tanah ulayat berlaku dalam wilayah yang berbentuk kedatuan atau perbatinan.

Hutan-tanah diatur diatur secara ketat melalui lembaga kekuasaan tradisional yang disebut dalam pepatah tali berpilin tiga (adat, ulama, pemerintah). Lembaga ini telah berurat-berakar dalam komunal, baik yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, maupun adat atau kedatuan. 

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Satuan wilayah yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, maka proses pengolahannya disahkan oleh raja atau sultan, sehingga kepemilikannya disebut hutan-tanah kayat. Istilah kayat merujuk pada pengertian hikayat, yaitu kisahan (naratif) yang berisikan penjelasan tertulis riwayat pengalihan kekuasaan pengelolaan atas hutan-tanah tersebut dari raja atau sultan kepada pribadi maupun komunitas. Di masa Hindia-Belanda, tanah kayat ini disebut grant Sultan.

Dalam wilayah yang berbentuk pemerintahan adat, maka satuan wilayahnya disebut hutan-tanah ulayat. Hutan-tanah ini dimiliki oleh komunal (dalam adat Melayu di Riau disebut suku, pesukuan, atau pebatinan), yang pengaturannya dikuasakan kepada pimpinan atau datuk-datuk adat misalnya pucuk suku, penghulu, atau batin. Pembagian dan pengelolaan ditentukan melalui musyawarah yang diadakan oleh pimpinan adat. Hutan-tanah ulayat sebagian tidak menjadi miliki pribadi dan tetap berstatus sebagai tanah ulayat.

Pembagian Hutan-Tanah
Hutan-tanah terdiri atas 4 bagian yaitu tanah perkampungan, tanah peladangan, rimba, dan perairan. Keempat bagian berfungsi secara khusus yang dikenali dengan ciri-ciri lahiriahnya. 

Baca Juga:  Hulu-Hilir dalam Budaya Melayu

1. Tanah Perkampungan
Tanah perkampungan adalah hutan-tanah yang dijadikan sebagai tempat untuk bermukim dan berketurunan. Lingkup tanah perkampungan dapat dikenali dengan ketersediaan wilayah yang dimanfaatkan oleh masyarakatnya untuk menjalankan aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi.

Di alam tanah perkampungan terdapat ruang-raungan lain saling berkaitan yang meliputi tanah pekarangan, teratak, dusun, tanah koto, tanah pekuburan, padang penggembalaan dan tanah kandang.
a. tanah pekarangan, yaitu tempat untuk membangun rumah;
b. tanah koto, tempat pembangunan masjid, balai adat, rumah adat, dan lamat silat;
c. teratak, yaitu kebun kecil untuk menanam berbagai keperluan rumah tangga misalnya tanaman obat, buah-buahan berumur tahunan, bumbu masak seperti lengkuas, kunyit, cekur;
d. dusun, tanah untuk berkebun tanaman keras atau pohon yang memerlukan waktu lebih dari satu tahun seperti durian, duku, nangka, petai, manggis, dan rambutan. Dusun adalah cikal bakal yang akan berkembang menjadi kampung;
e. tanah pekuburan, tempat pemakaman yang digunakan oleh anggota masyarakat. Tanah pekuburan terdiri dari pekuburan kampung dan pekuburan yang dimiliki suku.
f. padang penggembalaan, tempat menggembalakan dan melepaskan hewan ternak. Padang penggembalaan berupa kawasan luas yang ditumbuhi rumputan berada tidak jauh dari perkampungan atau berada di pinggir perkebunan. Ternak yang terdapat di padang ini adalah kerbau, sapi, dan kambing. Di tanah penggembalaan juga terdapat tanah kandang yang digunakan sebagai tempat membuat kandang ternak milik masyarakat kampung.

Baca Juga:  Alam dalam Pandangan Budaya Melayu Riau

2. Rimba
Rimba adalah hutan tanah tempat tumbuh dan berkembang berbagai jenis flora dan fauna. Rimba diklasifikasikan dengan tiga bagian, yaitu rimba larangan, rimba cadangan atau rimba simpanan, dan rimba kepungan sialang.
a. Rimba Larangan
Rimba larangan (hutan lindung) adalah hutan yang dilindungi oleh hukum-hukum adat yang berguna sebagai tempat simpanan air, flora, dan fauna. Hasil hutan di rimba larangan seperti kayu, rotan, damar, dan hewan buruan diperbolehkan dimanfaatkan secara terbatas berdasarkan aturan-aturan adat. Rimba larangan tidak boleh digunakan sebagai tempat berladang atau berkebun, membangun perkampungan, ataupun membuat bangunan seperti bagan atau pondok.

b. Rimba cadangan
Rimba cadangan disebut juga rimba simpanan. Rimba ini dijadikan sebagai cadangan (simpanan) untuk tanah peladangan. Hasil-hasil hutan di rimba cadangan bisa dimanfaatkan secara ekonomi untuk memenuhi keperluan ekonomi komunal. Di dalam adat, rimba cadangan dinukilkan dengan pepatah tebas tidak merusak, tebang tidak membinasakan dan rimba ditebang diganti rimba, pohon ditebang diganti pohon.

c. Rimba kepungan sialang
Rimba kepungan sialang adalah rimba tempat tumbuh pohon sialang sebagai tempat lebah bersarang. Pohon-pohon yang berada di rimba kepungan sialang menjadi tempat bermain bagi lebah untuk mengumpulkan sari-sari bunga dalam proses pembentukan madu.

3. Tanah Peladangan
Tanah peladangan merupakan tanah untuk berladang dan berkebun. Tanah peladangan ditanami berbagai tanaman yang berkaitan dengan pencarian utama seperti padi dan karet. Tanah peladangan dibuka dari hutan cadangan, menjadi milik pribadi yang bisa diwariskan kepada anak cucu.

Baca Juga:  Angin Muson dalam Ilmu Kelautan Orang Melayu

4. Kawasan Perairan
Kawasan perairan adalah hutan-tanah yang di dalamnya terdapat berbagai perairan. Di kawasan perairan terbentuk sistem khusus yang mengatur pemanfaatannya yang bertujuan mendukung aktivitas sosial, budaya, dan ekonomi yang lestari dan berkelanjutan. Laut, sungai, danau, dan bencah sebagai komponen kawasan perairan memiliki peran dan fungsi masing-masing. Sungai selain sumber ekonomi penghasil ikan juga berfungsi sebagai penghubung ekonomi dalam lalu lintas transportasi antar kampung dan mengangkut hasil alam serta pertanian. Danau menghasilkan ikan selain sungai, sedangkan bencah adalah lahan cadangan pertanian terutama dalam menanam padi basah.

Rujukan:
1. Taufik Ikram Jamil, Derichar H. Putra, dan Syaiful Anuar. Pendidikan Budaya Melayu Riau untuk SMA/SMK/MA kela X. Pekanbaru: Penerbit Narawita
2. Elmutian Rahman, dkk. 2012. Ensiklopedia Kebudayaan Melayu Riau: Pekanbaru: Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *