Scroll ke bawah untuk melihat konten
Adat & Adab

Menaiki Rumah

×

Menaiki Rumah

Sebarkan artikel ini
Rumah Limas. (foto: budayamelayuriau.org)

Menaiki rumah adalah upacara yang dilaksanakan setelah pembangunan rumah selesai dilaksanakan. Upacara ini berupa memanjatkan doa selamat, berzikir, tahlil, dan tahmid sebagai wujud syukur kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala rakhmat-Nya, sehingga bangunan dapat sele­sai dan yang mengerjakan tidak mendapat halangan atau rintangan.

Upacara dipimpin oleh orang yang dituakan atau ahli agama. Upacara ini sekaligus sebagai pernyataan terima kasih pemilik bangunan kepada seluruh warga masyarakat yang telah turut memberikan bantuannya.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Tempat upacara di rumah atau di bangunan yang baru selesai dikerjakan itu. Waktunya ditentukan oleh Pawang dengan kesepakatan pemilik ba­ngunan (untuk rumah pribadi) dan kesepakatan pemuka masyarakat untuk bangunan umum.

Penyelenggaranya adalah pemilik bangunan atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakannya. Dalam hal ini, selalu diserahkan kepada keluarga tertua dan orang tua-tua. Pesertanya seluruh lapisan masyara­kat, jika pemiliki bangunan mampu, termasuk wanita dan anak-anak. Alat upacara yaitu kemenyan, setanggi, limau purut dan air putih.

Upacara diawali dengan kedatangan pemilik bangunan bersama Pa­wang, membawa air putih berisi irisan limau purut yang sudah “didoai” oleh Pawang. biasanya dilakukan menjelang matahari terbit. Air putih direnyiskan kesekeliling bangunan, luar dan dalamnya. Kemudian barulah acara do’a selamat dimulai. Waktunya kadang-kadang siang tetapi boleh pula diundurkan sampai malam harinya. Pada saat membaca do’a selamat , kemenyan dan setanggi dibakar.

Baca Juga:  Manumbai

Namun demikian ada pula kebiasaan untuk menunda pelaksanaan upa­cara do’a selamat itu beberapa waktu kemudian. Ini terutama tergantung kepada kemampuan penyelenggara dan pemilik bangunan, Namun bagaimanapun jua upacara itu harus mutlak harus diadakan, sebab kalau tidak, merupakan aib bagi pemilik bangunan.

Karena umunya masyarakat hidup dalam kekeluargaan yang erat, maka biaya tidaklah menjadi halangan pokok. Setiap akan menaiki rumah/bangunan, sanak keluarganya akan berusaha membantu sekuat dayanya. Sebab menaiki rumah merupakan kebanggaan, bukan saja bagi pemiliknya, tetapi juga bagi keluarganya.

Kalau upacara manaiki rumah karena ketidakmampuan atau karena ti­dak ada sanak keluarganya yang turut membantu, hal itu menjadi aib bagi pemilik rumah dan aib pula bagi kelurganya. Mereka dianggap tidak tahu adat atau dituduh “kedekut” (kikir). Sanksi lainnya, mereka dipercayai akan mendapat bahaya atau malapetaka, walaupun persyaratan lainnya te­lah mereka penuhi. Bahaya itu dapat berupa penyakit bagi pemilik rumah, dapat pula penyakit bagi keluarganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *