Scroll ke bawah untuk melihat konten
Bahasa & SastraUtama

Hikayat Awang Sulung Merah Muda

×

Hikayat Awang Sulung Merah Muda

Sebarkan artikel ini
Buku Hikayat Awang Sulung Merah Muda.

Pada abad ke-15, ketika Bengkalis di dalam pengawasan para batin maka terkisahlah dua keluarga bangsawan sakti yang mendiami pulau Bengkalis. Masing-masing mereka mempunyai dua pasang anak. Keluarga pertama anaknya yang tua bernama Sikancing, dan sang adik bernama Putra Lang Raja Di Laut. Keluarga yang kedua anak tertua bernama Segentar Alam dan adiknya bernama Putri Mahdewi. Kedua keluarga ini melakukan perkawinan ambil-berambilan atau ayam dua segengger, yaitu putra Segentar Alam kawin dengan Putri Sikancing dan Putra Lang Raja Dilaut kawin dengan Putri Mahdewi. 

Kedua keuarga ini pun berpisah. Segentar Alam menetap di Sungai Alam menjadi raja di situ sehingga bergelar Raja Segentar Alam. Sementara Putra Lang Raja Dilaut menjalani kehidupan sebagai rakyat biasa dan tinggal di Bukit Batu. Tak berapa lama kedua wanita itu hamil sehingga mereka bersepakat untuk mempertunangkan anak yang masih dalam kandungan itu.

Advertisement
Scroll ke bawah untuk melihat konten

Tak lama menjadi raja, datang firasat bagi Segantar Alam untuk segera bersemedi dan meninggalkan kehidupan dunia. Menurut lintasan yang dia terima dia harus menziarahi atau naik haji ke tanah suci Makah. Waktu itu Sikancing yang masih hamil tua dengan berat hati melepas kepergian suaminya. 

Sebelum Putra Segentar Alam berangkat ia berwasiat kepada istrinya “Aku pergi tidak akan kembali oleh karena itu aku berpesan jika lahir anak kita nanti peliharalah ia baik-baik dan kalau ada jodohmu berkawinlah engkau jangan ditunggu aku pulang”. Tak lama setelah kepergian Putra Segentar Alam, Sikancing melahirkan seorang putri yang diberi nama Dayang Nermah, sedangkan pada saat yang lebih dahulu Mahdewi juga melahirkan seorang bayi laki-laki diberi nama Awang Merah Muda. 

Setelah lahirnya Dayang Nermah, putri Sikancing kembali menjalani hari-hari seperti biasa. Dia membesarkan Dayang Nermah sambil bekerja sebagai dukun kampung sehingga bergelar Mak Sikancing. Dayang Nermah pun tumbuh semakin besar, begitu juga dengan Awang Merah Muda. Hubungan kedua keluarga itu pun bertambah rapat. Namun karena kehidupan keluarga Mahdewi dan Putra Lang Raja Dilaut selalu berpindah-pindah maka ia menitipkan Awang Merah Muda pada Mak Siakncing. Kemudian ayah dan Ibu Awang pergi berpindah dan membuka kampung di Teluk Berta.

Tinggallah Awang bersama emak saudaranya dan adik sepupunya yang juga sebagai tunangannya. Mak Sikancing dan Dayang Nermah sangat senang dengan kehadiran Awang Merah Muda, namun tidak halnya dengan Awang yang sedih ditinggal pergi kedua orang tuanya. Selain itu, ia mendapat firasat akan ada hal yang tidak baik terjadi terhadapnya. Benar saja, tidak berapa lama sesudah itu Mak Sikancing dilamar oleh Batin Alam. Dia ingin memperistri Mak Sikancing, dan lamaran iu pun diterima sebab ia yakin Batin Alam yang bekas perdana menteri pada masa raja Segenatar Alam itu sudah dikenalnya. Maka menikahlah mereka. Namun setelah pernikahan itu hidup mereka tidak bahagia sebab Batin Alam sering berlaku kasar terhadap Awang Merah Muda yang tentu saja membuat marah Mak Sikancing sehingga antara keduanya sering terjadi perkelahian. Namun tetap saja setiap Mak Sikancing tidak ada di rumah Batin Alam berlaku kasar terhadap Awang Merah Muda yang juga membuat Dayang Nermah makan hati.

Pada suatu hari Awang Merah Muda termenung dan menghadap ke arah matahari mati. Kemudaian Mak Sikancing bertanya tentang renungan Awang Merah Muda. Ia menjawab bahwa sore itu akan ada orang mengantar jenazah ayahnya. Benarlah apa yang dikatakan Awang. Sore harinya datanglah orang mengatakan jenazah ayahnya. Bebeberapa lama setela itu kembali Awang termenung dan berkata kepada Mak Sikancing; “Padi sedang diubah ayah meninggal dan kini padi sedang terbit, ibu meninggal” mendengar perkataan itu Mak Sikancing tak banyak berkomentar dan benar saja tak lama datang orang berbondong  mengantar jenazah Mahdewi. Maka Awang Merah Muda pun menjadi anak yatim piatu.

Setelah menjadi anak yatim piatu, kehidupan Awang Merah Muda semakin tidak menentu. Meskipun kasih sayang dari Mak Sikancing tidak pernah berkurang. Sampai ia mendapat firasat untuk segera membuat sebuah perahu. Awang pun tidak mau lagi melalaikan waktu, ia segera meneroka berpedoman pada satu lorong yang dibuatnya untuk menuju ke hutan. Di sana pada sekelompok pepohonan linau ia mempersiapkan bahtera kecil yang bernama Lancang Kuning.

Sementara Awang Merah Muda menyelesaikan pekerjaan membuat perahu, kehidupannya dengan Batin Alam semakin tidak akur. Apalagi sejak dengan terpaksa Awang meminjam uang pada Batin Alam untuk berasah gigi. Pada waktu itu sudah menjadi kelaziman bagi jejaka untuk mengasah gigi agar menyenangkan hati tunangannya. Lama kelamaan janji untuk segera membayar pinjaman kepada Batin Alam semakin mendesak, sementara Awang masih belum mempunyai cukup uang untuk membayar pinjaman itu, sampai akhirnya Awang mengetahui ada kapal yang berlabuh di Bengkalis. 

Ikhwal kapal yang merapat tersebut merupakan kapal yang ditumpangi oleh Dayang Sri Jawa. Dayang Sri Jawa adalah putri raja Majapahit yang sangat cantik jelita. Ia sudah sering mendapat pinangan dari raja-raja di negeri seberang tetapi tidak satupun yang diterimanya. Dalam mimpi sang putri, akan datang seorang pemuda yang tampan dan sakti sebagai pendamping hidupnya. Lama menunggu, pemuda yang dimaksud tak kunjung datang. Maka Dayang Sri Jawa pun memutuskan meminta izin ayahnya untuk melakukan pelayaran demi mencari pemuda yang dimaksud. Maka sampailah Dayang Sri Jawa di Bengkalis. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *